
Pernah nggak sih kamu ngerasa aneh sendiri karena ngakak nonton video absurd berdurasi 7 detik? Atau merasa tenang cuma dengan lihat karakter kartun joget-joget dengan backsound remix yang nggak nyambung sama sekali?
Kalau iya, bisa jadi kamu udah terpapar yang namanya konten brainrot—fenomena digital yang belakangan ini makin marak di TikTok, YouTube Shorts, hingga Instagram Reels.
Tapi sebenernya, apa sih brainrot itu? Kenapa bisa terjadi? Dan gimana awal mula munculnya?
Apa Itu Brainrot?
Secara harfiah, “brainrot” berarti “pembusukan otak”. Tapi dalam dunia internet, istilah ini dipakai secara sarkastik dan jenaka untuk menggambarkan:
Konsumsi atau paparan berlebihan terhadap konten yang sangat absurd, tidak masuk akal, dan sering kali terlalu cepat sehingga membuat kita merasa “otak rusak”, tapi tetap menikmati.
Konten brainrot biasanya memiliki ciri-ciri berikut:
- Bersifat acak dan absurd
(Contoh: SpongeBob ngedance dengan suara kartun yang distorsi) - Durasi super pendek dan cepat
(5–15 detik, bahkan kadang diulang terus dalam satu video) - Mengandalkan audio viral atau remix suara aneh
- Jarang punya alur atau konteks
- Memicu reaksi spontan: ngakak, bingung, bahkan “kenapa ini lucu ya?”
Awal Mula Fenomena Brainrot
Awalnya, istilah brainrot bukan berasal dari dunia konten, tapi dari forum internet dan komunitas fandom (terutama Tumblr dan Reddit) sekitar tahun 2010-an.
Waktu itu, istilah ini digunakan untuk menggambarkan kondisi ketika seseorang terlalu terobsesi dengan sebuah karakter, fandom, atau topik sampai mengganggu fungsi berpikir normal. Misalnya: “My brain is rotting from thinking about this anime 24/7.”
Namun seiring masuknya budaya absurd dan cepat konsumsi di media sosial terutama TikTok sejak 2019 istilah ini bergeser maknanya menjadi:
“Otakku udah rusak karena kebanyakan nonton konten aneh-aneh, tapi seru banget.”
Dari sinilah lahir gelombang konten brainrot-style yang makin marak di feed sosial media kita sekarang.
Kenapa Brainrot Bisa Terjadi?
Fenomena ini bisa dijelaskan dari dua sisi: psikologis dan sosial.
1. Overstimulasi Digital
Di era sekarang, kita nyaris nggak pernah “diam”. Otak kita terus-menerus diserbu rangsangan dari notifikasi, video, konten visual, hingga informasi berita yang nggak berhenti.
Hal ini bikin otak kita:
- Cepat bosan dengan hal yang lambat
- Terbiasa cari hiburan yang instan
- Cenderung butuh “dopamine shot” dari hal-hal absurd yang unpredictable
Konten brainrot jadi semacam “permen instan untuk otak lelah” meskipun nggak sehat dalam jangka panjang.
2. Pelarian dari Stres dan Realita
Konten absurd dan lucu secara tidak logis bisa jadi bentuk coping mechanism (mekanisme bertahan hidup psikologis). Ketika realitas terasa berat, otak kita ingin sesuatu yang ringan, tidak perlu dipikir, dan bisa membuat kita tertawa tanpa alasan jelas.
Brainrot menawarkan:
- Distraksi cepat
- Hiburan ringan
- Rasa “guilty pleasure” yang menyenangkan
Dampak Konsumsi Konten Brainrot

Apakah brainrot itu buruk?
Jawabannya : Tergantung cara dan intensitas kita menikmatinya.
+ Positifnya:
- Bisa jadi hiburan cepat & murah
- Menjadi bentuk ekspresi kreativitas absurd ala Gen Z
- Memberi jeda dari tekanan dan keseriusan dunia nyata
– Negatifnya:
- Menurunkan konsentrasi & rentang perhatian
- Membuat kita sulit menikmati konten yang lebih dalam atau pelan
- Bisa bikin ketagihan atau candu akan hiburan cepat dan instan
Apakah Brainrot Akan Jadi Budaya Populer?
Melihat trennya, iya. Bahkan sudah banyak brand dan kreator yang mulai pakai gaya brainrot untuk menjangkau audiens muda.
Contoh: iklan absurd tapi lucu, meme yang dipelintir sampai ekstrem, atau video singkat yang tampak random tapi “nempel” di kepala.
Konten ini akan terus berevolusi seiring cara manusia beradaptasi dengan era digital yang makin cepat, padat, dan penuh kejutan.