TikTok sedang diwarnai oleh tren absurd bernama brainrot. Video hiu berseragam sekolah, kartun aneh yang berputar tanpa konteks, atau suara remix tanpa arah—semua masuk ke kategori ini. Lucu? Iya. Tapi apakah ini hiburan sehat atau pertanda ada yang salah dengan cara otak kita bekerja?
Kalau kamu belum tahu apa itu brainrot, kamu bisa cek juga artikel:
👉 Mengenal Konten Brainrot: Bentuk Hiburan Baru di Era Overstimulasi
Apa Itu Brainrot dan Mengapa Bisa Viral?
Brainrot adalah istilah sarkastik yang digunakan untuk menggambarkan rasa “bodoh” atau “kosong” setelah menonton konten yang terlalu absurd. Fenomena ini berkembang karena:
- Algoritma yang memprioritaskan keterlibatan
- Budaya meme yang semakin absurd
- Kebutuhan manusia untuk escape dari realita
Pernah dengar istilah doomscrolling? Pola nonton brainrot juga mirip. Simak penjelasannya di:
👉 Doomscrolling dan Cara Otak Kita Ketagihan Hal Negatif
Dampak Brainrot terhadap Otak dan Fungsi Kognitif
Meski terlihat ringan, terlalu banyak menonton konten brainrot bisa berdampak serius, terutama untuk anak-anak dan remaja yang otaknya masih berkembang. Anak dan remaja yang sering terpapar video berdurasi sangat pendek dan berganti cepat cenderung rentang perhatian menurun. Sebuah tinjauan sistematis menemukan bahwa sebagian besar studi melaporkan hubungan antara waktu layar berlebihan dengan masalah perhatian pada anak-anak. Misalnya, anak yang terbiasa “di-hit” konten instan sulit fokus pada tugas panjang di sekolah.
Hasil penelitian di Journal of Educational Psychology menunjukkan anak-anak yang terlalu lama di depan layar cenderung memiliki kemampuan memecahkan masalah dan berpikir kreatif lebih rendah. Para peneliti juga melihat efek pada kemampuan berpikir tingkat tinggi. Konten brainrot menghambat berpikir kritis dan analitis otak terbiasa stimulus instan sehingga enggan “melakukan proses berpikir mendalam”.
Beberapa dampak terhadap otak antara lain:
- Menurunnya rentang perhatian : otak jadi terbiasa stimulasi cepat dan susah fokus pada aktivitas panjang.
- Lemahnya kemampuan berpikir logis dan kritis.
- Kebingungan antara realita dan hiburan.
- Kebutuhan terus-menerus atau candu akan hiburan cepat dan instan
Hal ini berdampak akan langsung pada prestasi akademik dan daya tahan belajar.
Baca juga: 👉 Kenapa Konten “Cepat & Garing” Lebih Laku daripada Edukasi?
Bagaimana Pengaruhnya terhadap Anak dan Remaja?
Kelompok usia paling rentan terhadap dampak brainrot adalah anak-anak dan remaja Gen Z. Di fase ini, mereka sedang menyerap banyak hal dari dunia sekitar termasuk dari media sosial. Di sisi sosial, anak yang lebih banyak bermain dunia maya cenderung pasif dalam berinteraksi nyata. Berikut dampak yang biasa terjadi pada anak dan remaja yang sudah terbiasa mengkonkumsi konten-konten brainrot :
Kesehatan Mental
- Meningkatnya kecemasan dan stres karena otak terus menerima rangsangan cepat
- Overstimulasi dopamin : konten absurd memberi efek “reward instan” yang bikin candu
- Penurunan motivasi dan fokus terhadap hal penting seperti belajar, membaca, atau bersosialisasi
Perilaku Sehari-hari
- Terbiasa menuntut instan gratification
- Sulit menikmati proses panjang atau aktivitas hening
- Mudah bosan, mudah terdistraksi
Dampak Sosial
- Penurunan empati, karena terbiasa melihat hal sensitif dijadikan humor
- Interaksi sosial melemah: anak lebih nyaman menatap layar daripada berbicara langsung
- Validasi diri bergantung pada komentar dan likes
Apakah Semua Konten Absurd Itu Buruk?
Nggak selalu. Beberapa konten absurd bisa jadi bentuk ekspresi kreatif dan humor Gen Z. Tapi tanpa batasan dan kesadaran, hiburan seperti ini bisa membentuk kebiasaan digital yang tidak sehat.
Solusinya:
- Lakukan digital detox mingguan
- Terapkan screen time maksimal (terutama sebelum tidur)
- Konsumsi konten yang bervariasi: hiburan, edukasi, refleksi
- Edukasi diri dan anak tentang apa yang mereka konsumsi
Butuh panduan detox digital?
👉 Cara Mudah Melakukan Digital Detox Tanpa FOMO
Saatnya Bijak Menghibur Diri
Fenomena brainrot bukan sekadar hiburan lucu-lucuan. Ia mencerminkan bagaimana kita menyikapi kejenuhan, informasi berlebih, dan keinginan untuk lari dari kenyataan. Menikmati konten ringan itu sah-sah aja, asalkan kita tahu kapan harus pause dan menjaga keseimbangan digital.
Ingin tahu konten edukatif yang tetap seru dan nggak membosankan?